Kasus Desa Wadas yang belakangan viral di berbagai media massa dan media sosial sebenarnya telah bergulir sejak lama, yaitu sejak ijin lingkungan (amdal) mulai dibahas dan jadi perdebatan, lalu berlanjut dengan gugatan warga desa Wadas ke PTUN semarang terhadap ijin penambangan yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah.

Praktisi Mediator dan Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA), Ahmad Zazali, dalam keterangannya menjelaskan bahwa pada april 2021 gesekan sempat terjadi ketika tim tata batas hendak melakukan pengukuran dan pemasangan patok batas wilayah yang akan ditambang (batu andesit) untuk digunakan sebagai material pembangunan bendungan bener yang berada diluar desa wadas, yang merupakan bagian proyek strategis nasional pemerintahan saat ini.

“Alasan penolakan warga desa wadas yaitu karena wilayah yang ditetapkan sebagai lokasi penambangan batu andesit tersebut tumpang tindih dengan tanah-tanah garapan warga, termasuk rumah mereka ada di dalamnya,” kata Ahmad Zazali.

Alasan dari sisi lingkungan, dalam berbagai pemberitaan yang ada menyebutkan bahwa kekawatiran desa wadas akan semakin rentan longsor dan kekeringan karena wilayah yang direncanakan untuk penambangan batu andesit tersebut merupakan areal tangkapan air sekaligus sumber mata air bagi warga wadas. Alasan lain berupa dimensi nilai-nilai sosial budaya yang sudah menyatu dengan wilayahnya secara turun temurun.

Sementara dari sisi pemerintah karena proyek strategis nasional (PSN) ini dicanangkan untuk kepentingan pemenuhan sumber air dan pasokan listrik maka proyek ini dianggap sangat penting bagi kemaslahatan orang banyak/publik.

Pemerintah juga merasa telah memberi kesempatan masyarakat melakukan upaya hukum, dan telah berupaya menunda pelaksanaan penambangan batuan andesit dan menunggu putusan akhir atas gugatan terhadap ijin penambangan di pengadilan tata usaha negara (PTUN), dan ketika putusan akhir oleh mahkamah agung keluar pada tanggal 29 November 2021 (menguatkan putusan PTUN Semarang dengan nomor 68/G/PU/2021/PTUN.SMG tanggal 30 Agustus 2021) yang menyatakan gugatan warga wadas tidak dikabulkan.

“Maka dengan berpijak pada putusan sudah berkekuatan hukum tetap, maka pemerintah berkesimpukan bahwa ijin penambangan andesit sah dan dapat dilanjutkan,” kata Ahmad.

Menurutnya, posisi para pihak (warga wadas dan pemerintah) dalam kasus ini akan sulit mendapatkan titik temu jika tidak diselenggarakan proses resolusi konflik dialogis dengan baik. Dialog semestinya dibangun dengan mengedepankan pemecahan terhadap isu/masalah utama yang menjadi kekawatiran para pihak, terutama dari dimensi sosial ekonomi budaya dan lingkungan hidup.

Dialog berbasis isu/masalah ini penting agar pemecahan masalah menjadi terukur. Karena jika kedua pihak menonjolkan posisinya masing-masing tanpa menyepakati isu/masalah apa yang ingin diurai dalam forum dialog, maka niscaya dialog akan mengalami kebuntuan (deadlock).

Rencana Komnas HAM RI untuk menjadi Mediator dialog antara para pihak dalam kasus ini patut diapresiasi, dan semoga komisioner Komnas HAM dapat menempatkan dirinya sebagai Mediator yang netral dan independen, serta mampu membawa proses dialog berbasis isu/masalah bersama bukan berbasis posisi. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Mediator Komnas HAM.

Dinamika dalam dialog Mediasi pasti akan ada mengingat eskalasi kasus ini sudah atau hampir mencapai puncaknya. Oleh karena itu, dialog ini juga diharapkan sebagai upaya untuk mendeeskalasi kasus ini dan memberikan pesan kuat akan pentingnya dialog berbasis kemanusiaan, bukan semata-mata berbasis yuridis atau legal formal.

“Dengan iktikad baik dari semua pemangku kepentingan yang terlibat mengadvokasi kasus ini, saya yakin pasti ada jalan keluar terbaik, tanpa harus ada yang dimenangkan ataupun dikalahkan, tapi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradap bagi semua pihak yang harus dikedepankan,” ujarnya.

sumber: Pentingnya Resolusi Konflik Dialogis Kasus Wadas (hukumonline.com)

Leave a Comment